Sejarah Singkat Galuh Bojongloa
A. Bersatunya kerajaan Sunda – Galuh
Sekitar tahun 1482 Masehi, Pangeran Jayadewata bertahta di Kerajaan Galuh menggantikan ayahnya yang bernama Prabu Dewa Niskala atau Prabu Ningrat Kancana dengan pusat pemerintahan di Kawali (sekarang Situs Astana Gede Ciamis Jawa Barat). Setelah menjadi raja,beliau bercita-cita untuk menyatukan dua kerajaan besar yaitu Kerajaan Galuh yang dipimpinnya dengan Kerajaan Sunda yang saat itu dipimpin oleh Prabu Susuk Tunggal.
Cita-citanya tersebut tercapai saat Prabu Jayadewata menikah dengan putri Prabu Susuk Tunggal yang bernama Putri Kentring Manik Mayang Sunda. Dengan pernikahan itu secara otomatis menyatulah dua kerajaan besar tersebut dan berganti nama menjadi Kerajaan Pajajaran yang dipimpin oleh Prabu Jayadewata bergelar Sribaduga Maharaja atau Prabu Siliwangi. Adapun pusat pemerintahannya dipindahkan dari Kawali ke Bogor (saat ini).
Ketika Jayadewata atau Sribaduga Maharaja berkuasa di Pajajaran, di kerajaan Galuh tetap ada raja Galuh sebagi bagian dari Kerajaan Pajajaran yaitu Prabhu Ningratwangi (1404-1423 Saka atau 1482-1501 Masehi). Prabhu Ningratwangi berkuasa selama 19 Tahun dan setelah itu digantikan oleh putranya yaitu Prabhu Jayaningrat (1423-1450 Saka atau 1501-1528 Masehi). Pun demikian, putra dari Sribaduga Maharaja lainnya dari Nyai Subanglarang, yaitu Prabhu Walangsungsang menjadi Raja di Kesultanan Cirebon. Disaat pemerintahan Jayaningrat ini terjadi upaya penaklukan oleh kerajaan Cirebon dan Kerajaan Galuh saat itu diturunkan statusnya menjadi kerajaan bawahan Cirebon.
B. Invasi Kerajaan Mataram
Pada abad ke 16 Kerajaan Mataram Islam sedang mengalami masa keemasan dengan pusat pemerintahan berada di daerah Yogyakarta, rajanya yang terkenal bernama Sultan Agung Hanyokro Kusumo yang tidak henti hentinya memperluas daerah kekuasaannya dengan cara menaklukan kerajaan- kerajaan di Pulau Jawa. Selain memperluas daerah kekuasaan, Sultan Agung pada saat itu juga mempunyai misi penyebaran agama Islam ke seluruh Pulau Jawa. Daerah kekuasaannya tidak hanya terbentang di Jawa Tengah dan Jawa Timur saja, tetapi sampai ke daerah Jawa Barat termasuk ke Kerajaan Cirebon.
C. Galuh Pangauban
Pada saat invasi Kerajaan Mataram inilah ( sekitar tahun 1618 M ) Kerajaan Galuh yang sudah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Cirebon kembali diperkecil wilayah kekuasaannya dengan dipecah menjadi 9 wilayah kekuasaan dengan sebutan Kandaga Lante ( setingkat kabupaten saat ini ) dengan wilayah kekuasaan sebagai berikut :
1. Galuh Kawali
2. Galuh Panjalu
3. Galuh Salawe (Cimaragas)
4. Galuh Kawasen (Banjar Sari)
5. Galuh Ciancang
6. Galuh Cibatu (Gara engah)
7. Galuh Imbanagara (Ciamis)
8. Galuh Bojong Lopang (Kerta Bumi )
9. Galuh Bojong Loa (Daerah Barugbug Karangampel Baregbeg Ciamis).
D. Kyai Malang Karsa
Dalam misi penyebaran agama islam, Raja Mataram mengirimkan utusan-utusan dari golongan para negarawan dan ulama ke daerah-daerah Kandaga Lante tersebut termasuk ke wilayah Galuh Bojong Loa. Berdasarkan sumber sejarah dari cerita rakyat secara turun temurun, untuk wilayah Galuh Bojong Loa diutuslah seorang tokoh penyebar islam bernama Kyai Malang Karsa yang berasal dari daerah Malang Jawa Timur. Beliau mengajarkan masyarakat Bojong Loa tentang Syari’at Islam yang sampai saat ini namanya tetap harum di masyarakat Bojong Loa (sekarang Barugbug). Upaya-upaya dan metode beliau dalam menyebarkan agama Islam tetap di kenang dan dilestarikan secara turun temurun. Sosok beliau di mata masyarakat Bojong Loa begitu sakral dan begitu dihormati dari generasi ke generasi sampai saat ini.
E. Peninggalan Tradisi
1. Mupunjung
Menurut salah satu tokoh masyarakat Bojong Loa, mupunjung berasal dari kata “Punjung“ atau “Munjungan “ yang artinya berkunjung kepada orang yang lebih tua atau dituakan. Mupunjung merupakan salah satu adat/tradisi yang sampai saat ini masih dilestarikan oleh penduduk setempat secara turun temurun. Mupunjung di Bojong Loa dilaksanakan satu tahun satu kali yaitu setiap hari Senin terakhir di bulan Sya’ban.
Tradisi mupunjung merupakan salah satu bentuk penghormatan masyarakat setempat kepada Para Karuhun (keturunan terdahulu yang telah meninggal dunia) yaitu dengan cara ziaroh kubur ke makam makam tersebut termasuk ke Makam Kyai Malang Karsa. Kegiatan Mupunjung diawali dengan terlebih dahulu masyarakat membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitaran makam,dilanjutkan dengan tahlilan bersama di lokasi Makam Kyai Malang Karsa, mendo’akan sanak keluarga yang telah lebih dahulu meninggal dunia agar arwahnya diterima di sisi Allah SWT.
2. Pantrangan (Larangan)
Ada beberapa pantrangan (larangan) yang berlaku di masyarakat Bojong Loa (Dusun Barugbug). Pantrangan-pantrangan ini bersumber dari kata-kata /perintah/ucapan Kyai Malang Karsa semasa beliau hidup, yang selalu diceritakan secara turun temurun sampai saat ini, diantaranya:
a) Pantrang/dilarang memakan ikan bebeong (ikan caung) Asal-usul:
Suatu ketika Kyai Malang Karsa mencari ikan ke Sungai Cimuntur yang letaknya tidak jauh dari tempat beliau tinggal. Diantara hasil tangkapan ikan tersebut, didapatlah seekor ikan caung (sekarang “bebeong”) dan segeralah ikan tersebut dimasak dengan cara di pepes. Akan tetapi setiap kali Kyai Malang Karsa berencana untuk menikmati pepes ikan bebeong tersebut, ditakdirkan beliau selalu saja lupa, dan anehnya hal tersebut bukan hanya terjadi sekali tetapi menurut beberapa sumber lupa nya beliau terjadi sampai 3 kali berturut-turut. Saking kesalnya beliau karena selalu lupa untuk menyantap ikan bebeong tadi, sehingga tanpa disadari beliau bergumam: “gening sia teh siga nu embung didahar, seug atuh ari kitu ge ari embung di dahar mah sugan we sia teh bisa kanjat dipake mayar upeti “. Artinya: “ lho kok sepertinya kamu (ikan) tidak mau saya makan, ya sudah lah kalau begitu, kamu tidak akan saya makan, mudah-mudahan saja bisa cukup untuk dipakai untuk upeti” (masa itu kemungkinan sistem upeti masih berlaku).
Atas kehendak Yang Maha Kuasa, ucapan Kyai Malang Karsa ternyata dikabulkan Allah SWT, pepes ikan bebeong berikut daun pembungkusnya berubah menjadi emas, sementara telur ikan bebeong berubah menjadi intan berlian sehingga betul sebagaimana tadi ucapan beliau, upeti dapat dibayar lunas bahkan konon hanya dengan menjual daun bungkus pepesannya saja. Atas kejadian tersebut sebagai rasa syukur kepada Allah SWT dan menghargai ikan yang telah berjasa, beliau berucap: “ ti mimiti poe ieu jeung saterusna, kaula jeung kabeh turunan kaula teu meunang aya nu murak lauk bebeong” yang artinya “Dari mulai hari ini dan seterusnya, saya dan seluruh turunan saya tidak diperbolehkan untuk memakan ikan bebeong”.
b) Pantrang / Dilarang menebang kayu/bambu disekitar makam Kyai Malang Karsa.
Untuk larangan ini, tidak diperoleh sumber kisah yang menceritakan kejadian khusus, hanya berdasarkan cerita dari para orang tua, suatu kali Kyai Malang Karsa pernah melarang menebang kayu/bambu disekitar pajaratan (sekarang adalah seluruh area situs makam Kyai Malang Karsa), karena menurut beliau pepohonan dan bambu tersebut adalah benteng. Entah apa maksud beliau tentang sebutan “benteng” tersebut, sampai sekarang pun masih menjadi misteri yang belum terungkap.
3. Leuwi Keris
Dalam tradisi Bojong Loa, terdapat suatu adat yang dinamakan “munday” yaitu menangkap ikan secara massal/rame-rame atau dengan kata lain marak/ngagubyag yang bertempat di Leuwi Buleud (salah satu leuwi di sungai cimuntur di wilayah Bojong Loa) yang diikuti oleh para petinggi dari seluruh kandaga lante (kabupaten saat itu) serta masyarakat Bojong Loa. Dikisahkan dalam satu kesempatan munday, terjadi insiden perselisihan antara Adipati Panaekan (petinggi di Galuh Karangkamulyan), dengan Adipati Kertabumi (petinggi Galuh Kertabumi/Bojong Lopang). Entah apa penyebab perselisihan tersebut, tetapi konon menurut cerita dipicu oleh adanya kecemburuan dari Adipati Kertabumi terhadap kenaikan pangkatnya Adipati Panaekan. Perselisihan tersebut berujung dengan pertarungan fisik satu lawan satu, dan dalam pertarungan tersebut Adipati Panaekan dapat dikalahkan dan terbunuh oleh Adipati Kertabumi dengan cara ditusuk keris. Akibat kejadian tersebut maka geger/gemparlah seluruh peserta munday sehingga para pettinggi kandaga lante sepakat untuk bermusyawarah. Dari hasil musyawarah tersebut diperoleh kesimpulan diantaranya:
1) Munday tidak dilanjutkan
2) Mayat Adipati Panaekan harus segera diantarkan ke Karang Kamulyan.
Terjadilah kebingungan tentang cara membawa mayat Adipati Panekan dari Bojong Loa ke Karang Kamulyan mengingat jarak tempuh yang begitu jauh, sedangkan mayat Adipati Panaekan tetap harus dimakamkan di Karang Kamulyan.
Akhirnya, Kyai Malang Karsa menadahkan tangan, berdo’a dan memohon petunjuk kepada Allah SWT sehingga saat itu juga terjadilah caah bagedod (banjir bandang) yang menghanyutkan mayat adipati panaekan sehingga sampai secara cepat ke Karang Kamulyan.
Untuk mengingat kejadian besar tersebut, maka para petinggi Bojong Loa memberi nama Leuwi Keris untuk tempat terbunuhnya Adipati Panaekan, sedangkan untuk gubuk/ubrug tempat bermusyawarahnya para petinggi kandaga lante diberi nama Barugbug (sampai saat ini) yang diambil dari kata ubrug (gubuk).
Wallahu A’lam .